Selasa, 03 Januari 2012

ASKEB III


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masa nifas adalah masa setelah persalinan yang diperlukan untuk pulihunya kembali alat-alat kandungan seperti sebelum hamil yang berlangsung selama 6 minggu. Komplikasi masa nifas adalah keadaan abnormal pada masa nifas yang disebabkan oleh masuknya kuman – kuman ke dalam alat genetalia pada waktu persalinan dan nifas.
Masa nifas merupakan masa yang rawan bagi ibu, sekitar 60 % kematian ibu terjadi setelah melahirkan dan hampir 50 % dari kematin pada masa nifas terjadi pada 24 jam pertama setelah persalinan, diantaranya disebabkan oleh adanya komplikasi masa nifas. Selama ini perdarahan pascapersalinan merupakan penyebab kematian ibu, namun dengan meningkatnya persediaan darah dan sistim rujukan, maka infeksi menjadi lebih menonjol sebagai penyebab kematian dan morbiditas ibu.
Periode pasca persalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarganya secara fisiologis, emosional, dan sosial. Baik di Negara maju maupun berkembang, perhatian utama bagi ibu dan bayi terlalu banyak tertuju pada masa kehamilan dan persalinan, sementara keadaan yang sebenarnya justeru kebalikannya, oleh karena resiko kesakitan dan kematian ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa pascapersalinan. Keadaan ini terutama disebabkan oleh konskuensi ekonomi, di samping tidak ketersediaan pelayanan atau rendahnya peranan fasilitas kesehatan dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang cukup berkualitas. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan juga menyebabkan rendahnya keberhasilan promosi kesehatan dan deteksi dini serta penatalaksanaan yang adekuat terhadap masalah dan penyakit yang timbul pada masa persalinan.
1.2.Rumusan Masalah
1.      Mengetahui macam-macam komplikasi pada masa nifas.
2.      Mengetahui dan memahami cara deteksi dini komplikasi pada masa nifas.
3.      Mengetahui dan memahami bagaimana penanganan komplikasi pada masa nifas.

1.3.Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui macam-macam komplikasi pada masa nifas.
2.      Untuk mengetahui dan memahami cara deteksi dini komplikasi pada masa nifas.
3.      Untuk mengetahui dan memahami penanganan komplikasi pada masa nifas.












BAB II
ISI

Pada seorang wanita yang baru saja melahirkan, rawan sekali terjadi komplikasi pasca persalinan atau pada masa nifas. Komplikasi-komplikasi tersebut adalah :
1.      Perdarahan Pervagina
2.      Infeksi pada masa nifas
3.      Sakit kepala, nyeriepigastrik, penglihatan kabur
4.      Pembengkakan di wajah dan ekstremitas
5.      Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih
6.      Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan terasa sakit
7.      Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama
8.      Rasa sakit, merah, lunak dan/atau pembengkakan di kaki
9.      Merasa sedih atau tidak mampu mengasuh sendiri bayinya dan diri sendiri

2.1. Perdarahan Per Vagina
Defenisi perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih, sesudah anak lahir atau setelah kala III. Perdarahan ini bisa terjadi segera begitu ibu melahirkan terutama di dua jam pertama. Kalau terjadi perdarahan, maka tinggi rahim akan bertambah naik, tekanan darah menurun, dan denyut nadi ibu menjadi cepat.
Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab utama dari 150.000 kematian ibu setiap tahun di dunia dan hamper 4 dari 5 kematian karena perdarahan pasca persalinan terjadi dalam waktu 4 jam setelah persalinan. Seorang ibu dengan anemia pada saat hamil pada umumnya lebih tidak mampu untuk mengatasi kehilangan darah yang terjadi jika dibandingkan dengan seorang ibu dengan kebutuhan nutrisi cukup. Dalam waktu satu jam setelah persalinan, penolong persalinna harus memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan dalam jumlah besar. Bila terjadi perdarahan berat, tranfusi darah adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kehidupan ibu.
Perdarahan pasca persalinan adalah komplikasi yang terjadi pada tenggang waktu di antara persalinan dan masa pasca persalinan. Faktor predisposisi antara lain adalah anemia, yang berdasarkan prevalensi di Negara berkembang merupakan penyebab yang paling bermakna kejadian perdarahan pascapersalinan. Penyebab perdarahan yang palign sering adalah atonia uteri serta retensio plasenta, penyetbab lain kadang-kadang adalah laserasi serviks atau vagina, rupture uteri, dan inverse uteri.
2.1.1. Klasifikasi klinis
Perdarahan Pasca Persalinan primer yakni perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama, penyebab: atonia uteri, retensio plasenta, dan robekan jalan lahir.
Perdarahan Pasca Persalinan Sekunder, yakin perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama, penyebab: robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau membran.
2.1.2. Etiologi dan faktor Predisposisi
Penyebab perdarahan pasca persalinan ada beberapa sebab antara lain :
a.       Atonia uteri (>75%), atau uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir)
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.



Perdarahan oleh atonia uteri dapat dicegah dengan :
1.      Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insiden perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri.
2.      Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet ( 400 – 600 µg ) segera setelah bayi lahir.
Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut :
1.      Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak terlalu besar.
2.      Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
3.      Kehamilan grande-multipara.
4.      Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
5.      Mioma uteri yang mengganggu kontarksi rahim.
6.      Infeksi intrauterine (korioamnionitis)
7.      Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-1.000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Tindakan pertama untuk perdarahan karena atonia uteri ini bergantung pada keadaan kliniknya. Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik. Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:
1.      Sikap Tredenleburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.
2.      Merangsang kontraksi uterus dengan cara :
·      Masase fundus uteri dan merangsang putting susu.
·      Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara IM, IV, atau SC.
·      Memberikan derivate prostaglandin F2α ( carboprost tromethamine ).
·      Pemberian misoprostol 800-1.000 µg per-rektal.
·      Kompresi bimanual eksternal dan/atau internal.
3.      Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif ( mempertahankan uterus ) atau melakukan histerektomi.

b.      Robekan (laserasi, luka) jalan lahir atau robekan yang terjadi pada jalan lahir bisa disebabkan oleh robekan spontan atau memang sengaja di lakukan episiotomi, robekan jalan lahir dapat terjadi ditempat : Robekan serviks, perlukaan vagina, robekan perinium.
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dank arena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi atau versi ekstraksi.
Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan sampai rupture perinea totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat adalah rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah dilaksanakan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya, karena ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.

c.       Retensio Plasenta dan sisa plasenta (plasenta tertahan didalam rahim baik sebahagian atau seluruhnya).
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setenagh jam setelah anak lahir disebut sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan Nitabuch Layer, disebut sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta perkreta bili vili korialis sampai menembus perimetrium.
Faktor predisposisi terjadinya plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesaria, pernah kuret berulang, dan multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal di dalam uterus disebut rest placenta dan dapat menimbulkan perdarahan pascapersalinan primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh perdarahan pervaginam ( cara pelepasan Duncan ) atau plasenta sudah lepas sebagian lepas tetapi tidak keluar pervaginam ( cara pelepasan Schultze ), sampai akhirnya pada tahap ekspulsi plasenta lahir. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak (perdarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan plasenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancer, atau setelah melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit. Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/digital atau kuret dan pemberian uterotonika. Anemia yang ditimbulkan setelah perdarahan dapat diberi tranfusi darah sesuai dengan keperluannya.

d.      Inversio Uterus (uterus keluar dari rahim)
Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan  perdarahan adalah terjadinya inverse uterus. Inverse uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit.
Faktor-faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah adanya atonia uteri, serviks yang masih terbuka lebar, dan adanya kekuatan yang menarik fundus ke bawah ( misalnya karena plasenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang tali pusatnya ditarik keras dari bawah ) atau ada tekanan pada fundus uteri dari atas ( maneuver Crede ) atau tekanan intra-abdominal yang keras dan tiba-tiba (misalnya batuk atau bersin).
Inversion plasenta ditandai dengan tanda-tanda :
1.      Syok karena kesakitan
2.      Perdarahan banyak bergumpal
3.      Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat
4.      Bila baru terjadi maka prognosis cukup baik akan terapi bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi.
Secara garis besar tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.      Memanggil bantuan anestesi dan memasang infuse untuk cairan/darah pengganti dan pemberian obat.
2.      Memberikan tokolitik/MgSO4 untuk melemaskna uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium kea tau masuk dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya.
3.      Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari rahim dan sambil memberikan uretotonika lewat infuse atau IM tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.
4.      Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai keperluannya.
5.      Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan maneuver di atas tidak bisa dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi.


e.       Gangguan pembekuan darah (koagulopati)
Kausal perdarahan pascapersalinan karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, nperdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostatis yang abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product) serta perpanjangan tes protombin dan PTT ( Partial Tromboplastin Time ).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah dengan transfuse darah dan prosuknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon Amino Caproic Acid).
Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan jejang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, salah satunya adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai berikut :
1.    Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien tersebuat dalam keadaan optimal.
2.    Mengenal faktor predisposisi perdarahan pascapersalinan seperti multiparitas, anak besar, hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, ada riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan.
3.    Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
4.    Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
5.    Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun.
6.    Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan pascapersalinan dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
2.2.  Infeksi Masa Nifas
Infeksi masa nifas atau sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genitalia yang terjadi pada setiap saat antara pecahnya selaput ketuban atau persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau abortus dimana terdapat dua atau lebih dari hal-hal berikut ini :
a.       Nyeri pelvik
b.      Demam 38,5°C atau lebih
c.       Rabas vagina yang abnormal
d.      Rabas vagina yang berbau busuk
e.       Keterlambatan dalam kecepatan penurunan uterus
Bakteri penyebab sepsis puerperalis :

a.       Streptococcus
b.      Stafilococcus
c.       E.coli
d.      Clostridium Tetanii
e.       Clostridium Welchi
f.       Clamidia dan Gonococcus

Bakteri Endogen
Bakteri ini secara normal hidup di vagina dan rectum tanpa menimbulkan bahaya. Bahkan jika teknik steril sudah digunkan untuk persalinan, infeksi masih dapat terjadi akibat bakteri endogen. Bakteri endogen menyebabkan infeksi jika :
a.       Bakteri ini masuk ke dalam uterus melalui jari pemeriksa atau melalui instrument pemeriksaan pelvic.
b.      Bakteri terdapat pada jaringan yang memar, robek/laserasi atau jaringan yang mati (misal setelah persalinan macet atau persalinan traumatik)
c.       Bakteri masuk sampai ke dalam uterus jika terjadi pecah ketuban yang lama.
Bakteri eksogen
Bakteri ini masuk ke dalam vagina dari luar (streptococcus, clostridium tetani, dll). Bakteri eksogen masuk ke dalam vagina:
a.       Melalui tangan yang tidak bersih dan istrumen yang tidak steril.
b.      Melalui substansi/benda sing yang masuk ke dalam vagina (misal ramuan/jamu, minyak, kain)
c.       Melalui aktivitas seksual.
Tanda dan gejala sepsis puerperalis :
a.       Demam
b.      Nyeri pelvik
c.       Nyeri tekan di uterus
d.      Lokia berbau menyengat (busuk)
e.       Terjadi keterlambatan dalam penurunan ukuran uterus
f.       Pada laserasi/luka episiotomi terasa nyeri, bengkak, mengeluarkan cairan nanah.

Faktor resiko pada sepsis puerperalis :
a.       Anemia/kurang gizi
b.      Hygiene yang buruk
c.       Teknik aseptic yang buruk
d.      Manipulasi yang sangat banyak pada jalan lahir
e.       Adanya jaringan mati pada jalan lahir
f.       Insersi tangan, instrument, atau pembalut/tampon yang tidak steril
g.      Ketuban pecah lama
h.      Pemeriksaan vagina yang sering
i.        Kelahiran melalui SC dan tindakan operasi lainnya
j.        Laserasi vagina atau laserasi servik yang tidak diperbaiki
k.      PMS yang diderita
l.        Haemoraghi post partum
m.    Tidak diimunisasi terhadap tetanus
n.      Diabetes mellitus
Faktor-faktor resiko di masyarakat :
a.       Tidak adanya transportasi dan sarana lain
b.      Jarak rumah ibu yang jauh ke fasilitas kesehatan
c.       Faktor-faktor yang memperlambat pencarian perawatan kesehatan, status kesehatan wanita yang rendah.
d.      Kurangnya pengetahuan tentang tanda-tanda gejala sepsis puerperalis
Faktor resiko di pelayanan kesehatan :
a.       Pemantauan suhu badan yang tidak adekuat setelah persalinan lama dan kelahiran
b.      Tidak adanya sepsis selama persalinan
c.       Pemeriksaan bakteriologis yang tidak adekuat pada ibu yang mengalami sepsis puerperalis
d.      Kehabisan persediaan darah untuk transfuse
e.       Penatalaksanaan yang tidak adekuat dengan antibiotic yang tepat atau intervensi operatif selanjutnya
f.       Ketidaktersediaan antibiotic yang tepat

2.3.  Sakit Kepala, Nyeri Epigastrik, Penglihatan Kabur
Wanita yang baru melahirkan sering mengeluh sakit kepala hebat atau penglihatan kabur.
Penanganan :
·      Jika ibu sadar periksa nadi, tekanan darah, pernafasan.
·      Jika ibu tidak bernafas periksa lakukan ventilasi dengan masker dan balon. Lakukan intubasi jika perlu dan jika pernafasan dangkal periksa dan bebaskan jalan nafas dan beri oksigen 4-6 liter per menit.
·      Jika pasien tidak sadar/ koma bebaskan jalan nafas, baringkan pada sisi kiri, ukur suhu, periksa apakah ada kaku tengkuk.

2.4.  Pembengkakan Di Wajah dan Ekstremitas
Pada wanita yang terlihat ada pembekakan pada wajah dan ekstremitas pasca persalinan, sebaiknya dilakukan tindakan :
·      Periksa adanya varises
·      Periksa kemerahan pada betis
·      Periksa apakah tulang kering,pergelangan kaki, kaki oedema

2.5.  Demam, Muntah, Rasa Sakit Waktu Berkemih
Organisme yang menyebabkan infeksi saluran kemih berasal dari flora normal perineum. Sekarang terdapat bukti bahwa beberapa galur E. Coli memiliki pili yang meningkatkan virulensinya (Svanborg-eden, 1982).
Pada masa nifas dini, sensitivitas kandung kemih terhadap tegangan air kemih di dalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan serta analgesia epidural atau spinal. Sensasi peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra atau hematoma dinding vagina. Setelah melahirkan terutama saat infuse oksitosin dihentikan terjadi diuresis yang disertai peningkatan produksi urine dan distensi kandung kemih. Overdistensi yang disertai kateterisasi untuk mengeluarkan air yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih.
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relatif tinggi dan hal ini dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang terlalu sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi yang sering.
Sistitis biasanya memberikan gejala beberapa nyeri berkemih (disuria), sering berkemih, dan tak dapat menahan untuk berkemih. Demam biasanya jarang terjadi. Adanya restensi urine pascapersalinan umumnya merupakan tanda adanya infeksi.
Pielonefritis memberikan gejala yang lebih berat, demam, mengigil, serta perasaan mual dan muntah. Selain disuria, dapat juga terjadi piuria dan hematuria.
Untuk pengobatan infeksi pada saluran kemih, Antibiotik yang terpilih meliputi golongan nitrofurantoin, sulfonamide, trimetropim, sulfametoksazol, atau sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkan resistensi mikrobakterial terdapat golongan penisilin.
Pielonefritis membutuhkan penangan yang lebih awal, pemberian dosis awal antibiotik yang tinggi secara intervena, misalnya sefalosforin 3 – 6 gram/hari dengan atau tanpa aminoglikosida. Sebaiknya juga dilakukan kultur urine.

2.6.  Payudara yang Berubah Menjadi Merah, Panas, dan Terasa Sakit
Masalah menyusui pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama masa nifas. Pada masa ini, pengawasan dan perhatian petugas kesehatan sangat diperlukan agar masalah menyusui dapat segera ditanggulangi, sehingga tidak menjadi penyulit atau menyebabkan kegaglan menyusi.
Masalah dalam pemberian ASI
1.    Puting susu lecet
Sebanyak 57 % ibu yang menyusui dilaporkan pernah mengalami kelecetan pada putting:
Penyebab lecet tersebut adalah:
1.      Kesalahan dalam teknik menyusui, bayi tidak menyusui sampai areola tertutup oleh mulut bayi. Bila bayi hanya menyusui pada putting susu, maka bayi akan mendapat ASI sedikit, karena gusi bayi tidak menekan pada sinus latiferus, sedangkan pada ibunya akan menjadi nyeri/kelecetan pada putting susu.
2.      Monoliasis pada mulut bayi yang menular pada putting susu ibu.
3.      Akibat dari pemakaian sabun, alcohol, krim, atau zat iritan lainnya untuk mencuci putting susu.
4.      Bayi dengan tali lidah yang pendek (frenulum lingual), sehingga menyebabkan bayi sulit menghisap sampai ke kalang payudara dan isapan hanya pada putting susu saja.
5.      Rasa nyeri juga dapat timbul apabila ibu menghentikan menyusui dengan kurang berhati – hati.
Penatalaksanaan puting susu lecet :
1.      Bayi harus disusuikan terlebih dahulu pada puting yang normal yang lecetnya lebih sedikit. Untuk menmghindari tekanan local pad puting maka posisi menyusu harus sering diubah, untuk puting yang sakit dianjurkan mengurangi frekuensi dan lamanya menyusui. Di samping itu, kita harus yakin bahwa teknik menyusui yang diguanakan bayi benar, yaitu harus menyusu sampai ke kalang payudara. Untuk menghindari payudara yang bengkak, ASI dikeluarkan dengan tangan pompa, kemudian diberikan dengan sendok, gelas, dan pipet.
2.      Setiap kali selesai menyusui bekas ASI tidak perlu dibersihkan, tetapi diangin-anginkan sebentar agar melembutkan puting sekaligus sebagai anti-infeksi.
3.      Jangan menggunakan sabun, alkohol, atau zat iritan lainnya untuk membersihkan payudara.
4.      Pada puting suus bisa dibubuhkan minyak lanolin atau minyak kelapa yang telah dimasak terlebih dahulu.
5.      Menyusui lebih sering (8-12 kali dalam 24 jam), sehingga payudara tidak sampai terlalu penuh dan bayi tidak begitu lapar juga tidak menyusu terlalu rakus.
6.      Periksakanlah apakah bayi tidak menderita moniliasis yang dapat menyebabkan lecet pada puting susu ibu. Jika ditemukan gejala moniliasis dapat diberikan nistatin.
Pencegahan Puting susu lecet :
1.      Tidak membersihkan puting susu dengan sabun, alcohol, krim, atau zat-zat iritan lainnya.
2.      Sebainya untuk melepaskan puting dari isapan bayi pada saat bayi selesai menyusu, tidak dengan memaksa menarik puting tetapi dengan menekan dagu atau dengan memasukkan jari kelingking yang bersih ke mulut bayi.
3.      Posisi menyusu harus benar, yaitu bayi harus menyusu sampai ke kalang payudara dan menggunakan kedua payudara.
2.    Payudara Bengkak
Penyebab pembengkakan payudara adalah karena ASI tidak disusui dengan adekuat, sehingga sisa ASI terkumpul pada system duktus yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan. Payudara bengkak ini sering terjadi pada hari ketiga atau keempat sesudah melahirkan. Statis pada pembuluh darah dan limfe akan mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakaudal, yang akan memengaruhi segmen pada payudara, sehingga tekanan seluruh payudara meningkat. Akibatnya, payudara serign terasa penuh, tegang, serta nyeri. Kemudian diikuti oleh penurunan produksi ASI dan penuruna let down. Penggunaan bra yang ketat juga bisa menyebabkan segmental engorgement, demikian pula puting yang tidak bersih dapat menyebabkan sumbatan pada duktus.

Gejala pembengkakan payudara :
Payudara yang mengalami pembengkakan tersebut sangat sulit disusui oleh bayi, karena kalang payudara lebih menonjol, putting lebih datar dan sulit diisap oleh bayi, kulit pada payudara nampak lebih mengkilap, ibu merasa demam, dan payudara terasa nyeri. Oleh karena itu, sebelum disusukan pada bayi, ASI harus diperas dengan tangan atau pompa terlebih dahulu agar payudara lebih lunak, sehingga bayi lebih mudah menyusu.
Penatalaksanaan pembengkakan payudara :
Penatalaksanaan yang dilakukan pada ibu yang payudaranya bengkak adalah sebagai berikut :
a.    Masase payudara dan ASI diperas dengan tangan sebelum menyusui
b.    Kompres dingin untuk mengurangi statis pembuluh darah vena dan mengurangi rasa nyeri. Bila dilakukan selang-seling dengan kompres panas untuk melancarkan pembuluh darah.
c.    Menyusui lebih sering dan lebih lama pada payudara yang terkena untuk melancarkan aliran ASI dan menurunkan tegangan payudara.
Upaya pencegahan pembengkakan payudara :
a.    Apabila memungkinkan, susukan bayi segera setelah lahir.
b.    Susukan bayi tanpa jadwal.
c.    Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi ASI melebihi kebutuhan bayi.
d.   Melakukan perawatan pascapersalinan secara teratur.
3.    Saluran Susu Tersumbat
Hal-hal yang menjadi penyebab saluran susu tersumbat adalah sebagai berikut :
ü Tekanan ibu jari yang terlalu kuat pada waktu menyusui.
ü Pemakaian bra yang terlalu ketat.
ü Komplikasi payudara bengkak, yaitu susu terkumpul tidak segera dikeluarkan, sehingga terbentuklah sumbatan.
Gejala yang ditimbulkan antara lain :
Æ Pada wanita yang kurus, gejalanya terlihat jelas dan lunak pada perabaan.
Æ Payudara pada daerah yang mengalami penyumbatan terasa nyeri dan bengkak terlokalisir.
Penatalaksanaan dari tersumbatnya saluran susu ini adalah dengan melakukan perawatan payudara. Adapun cara-caranya yaitu :
1.      Untuk mengurangi rasa nyeri dan bengkak, dapat dilakukan masase serta kompres panas dan dingin secara bergantian.
2.      Bila payudara terasa penuh, ibu dianjurkan untuk mengeluarkan ASI dengan tangan atau dengan pompa setiap kali selesai menyusui.
3.      Ubah-ubah posisi menyusui untuk melancarkan aliran ASI.
Cara untuk mencegah agar saluran ASI tidak tersumbat antara lain:
a.       Perawatan payudara pascapersalinan.
b.      Posisi menyusui yang diubah-ubah.
c.       Mengenakan bra yang menyangga, bukan yang menekan.
4.    Mastitis
Mastitis adalah radang payudara.
Penyebab terjadinya mastitis adalah sebagai berikut :
ü Payudara bengkak yang tidak disusui secara adekuat, akhirnya terjadi mastitis
ü Puting lecet akan memudahkan masuknya kuman dan terjadinya payudara bengkak.
ü Bra yang terlalu ketat mengakibatkan segmental engorgement, jika tidak disusui dengan adekuat, maka bisa terjadi mastitis.
ü Ibu yang dietnya buruk, kurang istirahat, dan anemia akan mudah terkena infeksi.

Gejala terjadinya mastitis adalah sebagai berikut :
·      Bengkak, nyeri pada seluruh payudara/nyeri lokal.
·      Kemerahan pada seluruh payudara atau hanya lokal.
·      Payudara keras dan berbenjol.
·      Panas badan dan rasa sakit umum.
5.    Abses Payudara
Abses payudara merupakan kelanjutan/komplikasi dari mastitis. Hal ini disebabkan karena meluasnya peradangan dalam payudara tersebut.
Gejala terjadinya abses adalah :
a.    Ibu tampak lebih parah sakitnya
b.    Payudara lebih merah dan mengkilap
c.    Benjolan lebih lunak karena berisi nanah, sehingga perlu diinsisi untuk mengeluarkan nanah tersebut.
Penatalaksanaan pada abses payudara adalah sebagai berikut :
a.    Teknik menyusui yang benar
b.    Kompres air hangat dan dingin
c.    Terus menyusui pada mastitis
d.   Susukan dari yang sehat
e.    Senam laktasi
f.     Rujuk
g.    Pengeluaran nanah dan pemberian obat antibiotik bila abses bertambah.
2.7.  Kehilangan Nafsu Makan dalam Waktu yang Lama
Sesudah anak lahir ibu akan merasa lelah mungkin juga lemas karena kehabisan tenaga. Hendaknya lekas berikan minuman hangat, susu, kopi atau teh yang bergula. Apabila ibu menghendaki makanan, berikanlah makanan yang sifatnya ringan walaupun dalam persalinan lambung dan alat pencernaan tidak langsung turut mengadakan proses persalinan, tetapi sedikit atau banyak pasti dipengaruhi proses persalinannya. Sehingga alat pencernaan perlu istirahat guna memulihkan keadaannya kembali. Oleh karena itu tidak benar bila ibu diberikan makanan sebanyak-banyak nya walaupun ibu menginginkannya. Tetapi biasanya disebabkan adanya kelelahan yang amat berat, nafsu makan pun terganggu sehingga ibu tidak ingin makan sampai kehilangan itu hilang.
2.8.  Rasa Sakit, Merah, Lunak, dan/atau Pembengkakan di Kaki
Selama masa nifas dapat terbentuk trhombus sementara pada vena-vena manapun di pelvis yang mengalami dilatasi dan mungkinlebih sering mengalaminya.
Faktor predisposisi :
1.      Obesitas
2.      Peningkatan umur meternal dan tingginya paritas
3.      Riwayat sebelumnya mendukung
4.      Anestesi dan pembedahan dengan kemungkinan trauma yang lama pada keadaan pembuluh vena.
5.      Anemia maternal
6.      Hypotermi dan penyakit jantung
7.      Endometritis
8.      Varicostitis
Manifestasi :
1.      Timbul secara akut
2.      Timbul rasa nyeri akibat terbakar
3.      Nyeri tekan permukaan
2.9.  Merasa Sedih atau Tidak Mampu Mengasuh Sendiri Bayinya dan Diri Sendiri
Pada minggu-minggu awal setelah persalinan kurang lebih 1 tahun ibu post partum cenderung akan mengalami perasaan-perasaan yang tidak pada umumnya seperti merasa sedih, tidak mampu mengasuh dirinya sendiri dan bayinya.
Faktor penyebab :
1.      Kekecewaan emosional yang mengikuti kegiatan bercampur rasa takut yang di alami kebanyakan wanita selama hamil dan melahirkan.
2.      Rasa nyeri pada awal masa nifas
3.      Kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan telah melahirkan kebanyakan di rumah sakit
4.      Kecemasan akan kemampuannya untuk merawat bayinya setelah meninggalkan rumah sakit
5.      Ketakutan akan menjadi tidak menarik lagi






















BAB III
PENUTUP


3.1.  Kesimpulan
Periode pasca persalinan meliputi masa transisi kritis bagi ibu, bayi, dan keluarganya secara fisiologis, emosional, dan sosial. Macam-macam komplikasi pada masa nifas antara lain Perdarahan pervagina; Infeksi pada masa nifas; Sakit kepala, nyeriepigastrik, penglihatan kabur; Pembengkakan di wajah dan ekstremitas; Demam, muntah, rasa sakit waktu berkemih; Payudara yang berubah menjadi merah, panas, dan terasa sakit; Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama; Rasa sakit, merah, lunak dan/atau pembengkakan di kaki; Merasa sedih atau tidak mampu mengasuh sendiri bayinya dan diri sendiri.
Cara penanganan untuk masing-masing komplikasi disesuaikan dengan kondisi ibu dan tingkat kegawatan dari maisng-masing komplikasi yang terjadi. Petugas kesehatan wajib berperan dalam upaya pencegahan komplikasi yang terjadi pada masa nifas, karena masa nifas merupakan fase yang sangat rawan terjadi komplikasi yang berakibat pada kematian.
Dalam penatalaksanaan dari terjadinya komplikasi pun petugas kesehatan harus melakukannya dengan cepat dan akurat, karena ini menyangkut dengan kesejahteraan maternal dan neonatal yang menjadi kewajiban bidan untuk mewujudkan program MDGs dalam bidang yang sesuai dengan profesinya sebagai tenaga kesehatan.

3.2.  Saran
Mahasiswa kebidanan diharapkan mengetahui dan memahami masalah komplikasi-komplikasi yang terjadi pada masa nifas karena merupakan salah satu masalah yang harus dikuasai karena berkaitan dengan profesinya nanti. Dengan memahaminya tentu akan lebih mudah dalam menerapkannya dalam kehidupan secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas. Jakarta : Salemba Medika.
Suherni, Hesty Widyasih, Anita Rahmawati. 2008. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta : Fitramaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar